Senin, 09 Januari 2012

koperasi untuk menghadapi era globalisasi


PENGARUH ERA GLOBALISASI TERHADAP EKONOMI KOPERASI


Permasalahan eksternal yang paling mendasar yang dihadapi oleh kopera sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah masalah iklim usaha. Belum membaiknya iklim usaha dilingkungan koperasi antara lain diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk mengembangkan permodalan, teknologi produksi,pemasaran, dan informasi. Kesulitan tersebut berpangkal dari adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk secara alami sebagai derivasi dari sistem perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya dukungan iklim usaha yang kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis sangat diperlukan bagi mereka. Sementara itu dewasa ini banyak pihak-pihak yang secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan komitmennya yang kuat pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi kebijakan operasionalnya, masih banyak pula peraturan perundangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi, kabupaten dan kota yang justru menjadi penghalang bagi ekonom rakyat untuk dapat maju dan berkembang

Perubahan Kondisi Perekonomian dan Pembangunan Koperasi
Masalah pembangunan koperasi selama era kemerdekaan masih terjebak dalam persoalan-persoalan klasik seperti lemahnya partisipasi anggota, dan rendahnya akses koperasi terhadap sumber permodalan, pasar dan teknologi.Dari sini timbul pertanyaannya “apa sebenarnya yang telah mampu diperbuat oleh para pembina koperasi selama sudah lebih dari 60 tahun?”. Memang dari masa kemasa perkembangan koperasi berfluktuatif. Pada era orde lama sebenarnya banyak koperasi yang bagus-bagus atau koperasi-koperasi yang dapat melaksanakan berbagai ragam usahanya untuk kepentingan pelayanan bagi anggotanya. Koperasi-koperasi seperti ini pada waktu itu banyak terlihat di Kabupaten Tasik malaya, Pekalongan, Cilacap dan Purwokerto. Pada masa orde baru, koperasi seperti itu kebanyakan sulit dijumpai lagi, padahal frekuensi pembinaan terhadap koperasi pada masa itu dilakukan sedemikian intensif. Yang menjadi pertanyaan adalah “bagaimana bisa terjadi kondisi seperti itu?”. Disini perlu diperhatikan kembali anatomi koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibangun oleh anggotanya, dimiliki oleh anggota dan bekerja untuk kepentingan anggota. Konsepsi seperti ini jelas tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 1967, tetapi jiwa dari prinsip dasar koperasi tersebut tidak terlihat jelas pada UU Nomor 25 Tahun 1992. Kondisi seperti itu mungkin terkait dengan keinginan pemerintah pada waktu yang menghendaki koperasi dapat segera difungsikan sebagai lembaga penghimpun kekuatan ekonomi rakyat, yang dituntut untuk juga dapat memberikan pelayanan yang lebih luas bagi semua anggota masyarakat (termasuk yang bukan anggota koperasi), sehingga pada waktu itu ada istilah calon anggota dan anggota yang dilayani. Dari aspek eksternal pembinaan koperasi, masalah lemahnya koordinasi dalam rangka pembinaan yang multi sektor merupakan lagu lama yang selalu diperdengarkan kembali dapat disinyalir, hal ini terkait dengan kebijaksanaan dasar pemberdayaan koperasi yang tidak secara tegas membagi tugas pembinaan secara sektoral. Sehingga ada kesan semua instansi sektoral mempunyai peran yang dominan tetapi tanggung jawab terhadap keberhasilannya kurang diperhatikan dan tanggung jawab tersebut akhirnya hanya dilimpahkan ke alamat Departemen/Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Disini terlihat secara lebih jelas peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini masih belum dapat mengakomodir penetapan peran tugas dan tanggung jawab antar instansi. Selama kebijakan dasar tersebut masih mengambang.

Inti permasahan yang dihadapi oleh koperasi sekarang ini adalah ketidakmampuan koperasi untuk menjadi lembaga usaha yang mampu memberikan pelayanan kepada anggotanya dalam menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak berpihak kepada kelompok ekonomi lemah. Kelemahan internal koperasi lebih diperburuk lagi dengan kondisi lingkungan yang diciptakan oleh era globalisasi dan kebijakan makro yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak dapat mengembangkan efisiensi atau inovasi dalam berusaha. Efisiensi merupakan fungsi ekonomi yang terkait langsung dengan inovasi teknologi dan kecanggihan manajemen informasi. Koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibentuk oleh para anggotanya yang umumnya terdiri dari UMKM terlihat sulit untuk dapat mengembangkan faktor kunci globalisasi tersebut (efisiensi dan inovasi). Pertanyaannya kemudian adalah “apakah koperasi tidak memiliki peluang untuk tetap dapat eksis dalam perekonomian nasional yang semakin pekat diwarnai oleh kondisi globalisasi?”. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperhatikan banyak aspek terutama yang berkaitan dengan kendala permasalahan potensi dan peluang koperasi. Persoalan yang muncul jarang diselesaikan dari akar permasalahannya. Hal ini memang biasa dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendalami dengan baik tentang suatu persoalan yang akan diselesaikan. Tetapi adalah naïf jika orang tersebut sebenarnya berada dalam suatu sistem yang menghadapi permasalahan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hal seperti ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman, tetapi yang lebih penting disini perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana hati nurani berperan. Hal-hal seperti itu memang sudah berlangsung cukup lama dan tidak pernah mengalami perubahan. Walaupun sudah lebih dari tiga generasi atau orang-orang yang bekerja dilingkungan Departemen /Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Pertanyaan lebih lanjut “adakah cara penyelesaian masalah seperti itu masih akan terus dipertahankan dan sampai kapan?”. Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya tidak dapat diberikan dalam waktu dekat karena disini juga moral dan hati nurani harus ikut berperan. Kondisi yang terlihat sekarang ini adalah bahwa jangankan anggota koperasi, dikalangan pembina koperasipun sekarang ini masih banyak yang belum mengetahui dengan pasti yang dimaksud dengan asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi. Apalagi setelah era otonomi daerah, banyak kalangan pembina koperasi di daerah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang koperasi. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya “Hendak kemana diarahkan dan koperasi di bawa?”. Pertanyaan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh para pemerhati dan pecinta koperasi, namun syah saja kalau para pembina koperasi sekalipun masih mengemukan pertanyaan yang sama sebagai gejolak nuraninya yang paling dalam. Satu hal yang mungkin dapat diinformasikan adalah bahwa dikalangan pembina di Tingkat Pusatpun, mungkin banyak manusia yang bernama pembina koperasi tetapi tidak memahami sama sekali tentang asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi, karena mereka memang berasal dari lingkungan di luar koperasi. Oleh sebab itu maka wajar-wajar saja bila kebijakankebijakan yang diambil tidak relevan dengan kepentingan pemberdayaan koperasi. Yang sangat ironis adalah bahwa kebijakan-kebijakan seperti itulah yang pada akhirnya sering membunuh kreatifitas kalangan yang menginginkan koperasi tumbuh dan berkembang sesuai dengan asas dan prinsip dasarnya. Hal ini pulalah yang menyebabkan banyak unsur pendukung pemberdayaan koperasi yang terlepas dari akarnya seperti Perum PKK, Bank Bukopin dan PT. PNM. Persoalan komplementer yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah penyusunan kebijakan dan program-program pembangunan koperasi terkesan bukan untuk jangka panjang dan berkesinambungan (long term and sustainable), tetapi lebih didasarkan kepada selera pejabat. Kondisi seperti ini juga masih merupakan masalah klasik yang sulit untuk diatasi karena kebijakan Kementerian Negara Koperasi dan UKM adalah derivasi dari kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan dalam RTJM rencana kegiatan dikemukakan secara normatif yang mungkin hanya dapat dibaca dengan baik oleh kalangan yang mengerti tentang koperasi. Sebaliknya seperti dikemukakan diatas, sebagian kalangan pembina koperasi sendiri cenderung banyak yang belum memahami.

Akibatnya usaha koperasi tidak pernah mencapai titik marginal produktivity. Dengan perkataan produktifitas
koperasi selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tidak kondusifnya iklim usaha koperasi yang mempengaruhi produktifitas koperasi dapat dilihat dari berbagai aspek kegiatan usaha UMKM sebagai berikut :
  1. Rendahnya kualitas SDM Disamping kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan kondisi SDM usaha mikro dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan dan pendidikan mereka. Hasil pengamatan Suhartoyo di Kabupaten Tasikmalaya (IPB 2004), seperti memperlihatkan bahwa rata-rata pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha yang ditekuninya relatif cukup baik, tetapi dari aspek pendidikan dan pengetahuan tentang inovasi dibidang produksi dan pengembangan teknologi serta, dibidang manajemen usaha dan pemasaran relatif rendah.
  2. Kesulitan untuk mengembangkan permodalan Rata-rata pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks harga tetap relatif rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan modal mereka tidak banyak berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit meningkat hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya inflasi. Kondisi yang demikian nampaknya sangat wajar karena pendapatan yang diperoleh koperasi belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Kecil sekali peluang bagi kelompok ini untuk menabung yang dapat digunakan untuk menambah modal atau meningkatkan investasinya.
  3. Rendahnya kualitas teknologi Hasil kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005 terhadap 27 koperasi contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa nilai bobot rata-rata teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru mencapai nilai 1,67 atau tergolong dalam kelompok pengguna teknologi tradisional. Lebih lanjut dikatakan pengembangan teknologi produksi dari produk-produk yang dihasilkan koperasi belum dapat meningkatkan produkfitas dan memperbaiki kualitas produk.
  4. Kelemahan akses terhadap Pasar Kesulitan koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang berkaitan dengan informasi. Tetapi kendala tersebut bukanlah harga mati, karena banyak variabel-variabel pemasaran produk koperasi yang dapat diandalkan seperti rendahnya harga jual produk koperasi yang menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan di pasar internasional. Rendahnya eksistensi koperasi dalam penguasaan pasar memang lebih terlihat sebagai dampak dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun sesungguhnya kondisi pasar yang demikian merupakan indikator dari adanya masalah pokok yang tidak terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang dikuasai oleh komponen sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya berperan sebagai Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan kemampuan menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya (para pedagang besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat, yang selama ini berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat dipatahkan.

Sumber:http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISi2030/8_strategi_koperasi.pdf